MENGENAL TUHAN

     Sebagian manusia, hanya tunduk dan patuh dengan aturan yang nyata-nyata terlihat oleh mata manusia seperti: patuh pada aturan/ hukum Negara, jika tidak patuh maka dipenjara atau diberhentikan, anak yang patuh pada orang tua, jika tidak patuh maka akan dipukul atau dinasehati dengan nyata, tetapi wujud tuhan tidak terlihat oleh mata zahir manusia secara nyata-nyata, sehingga ada yang tidak meyakini adanya tuhan, ada yang ragu ragu/ samar-samar, hal ini disebabkan karena mereka tidak mendalami isi alqur’an dan hadist (ada yang tidak memahami/ mendalami sama sekali, ada yang sedikit memahami dls) akibatnya murka allah atau hukuman allah didunia ini kadang tidak mengerti/ tidak diketahui sebagian manusia, mereka menganggap  hal itu adalah hukum alam yang nyata bukan dari tuhan. Dari satu sisi dikenal satu ungkapan oleh pakar agama dinilai sebagai hadis Qudsi yaitu: "Aku adalah sesuatu yang tersembunyi, Aku berkehendak untuk dikenal, maka Kuciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku." maka Al-Quran datang untuk meluruskan keyakinan manusia, dengan membawa ajaran tauhid yang telah dijabarkan oleh rasullullah SAW.
     Tauhid adalah: Mengesakan Allah semata dalam beribadah dan tidak menyekutukan-Nya. Bahkan tauhid merupakan pokok yang dibangun diatasnya semua ajaran, maka jika pokok ini tidak ada, amal perbuatan menjadi tidak bermanfaat dan gugur, karena tidak sah sebuah ibadah tanpa tauhid.

      Manusia tidak boleh memalingkan sedikitpun ibadahnya kepada selain Allah ta’ala, tidak kepada malaikat, kepada para Nabi dan tidak juga kepada para wali yang shaleh dan tidak kepada siapapun makhluk yang ada. Karena ibadah tidak sah kecuali dilakukan dengan ikhlas untuk Allah, maka siapa yang memalingkannya kepada selain Allah dia telah berbuat syirik yang besar dan semua amalnya gugur.
      seseorang harus berlepas diri dari penghambaan (ibadah) kepada selain Allah, menghadapkan hati sepenuhnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Tidak cukup dalam tauhid sekedar pengakuan dan ucapan syahadat saja jika tidak menghindar dari ajaran orang-orang musyrik serta apa yang mereka lakukan seperti berdoa kepada selain Allah misalnya kepada orang yang telah mati dan semacamnya, atau minta syafaat kepada mereka (orang-orang mati) agar Allah menghilangkan kesusahannya dan menyingkirkannya, dan meminta pertolongan kepada mereka atau yang lainnya yang merupakan perbuatan syirik.
      Wujud nyata Tauhid adalah: memahaminya dan berusaha untuk mengetahui hakikatnya serta melaksanakan kewajibannya, baik dari sisi ilmu maupun amalan, hakikatnya adalah mengarahkan ruhani dan hati kepada Allah baik dalam hal mencintai, takut (khauf), taubat, tawakkal, berdoa, ikhlas, mengagungkan-Nya, membesarkan-Nya dan beribadah kepada-Nya. Kesimpulannya tidak ada dalam hati seorang hamba sesuatupun selain Allah, dan tidak ada keinginan terhadap apa yang Allah tidak inginkan dari perbuatan-perbuatan syirik, bid’ah, maksiat yang besar maupun kecil, dan tidak ada kebencian terhadap apa yang Allah perintahkan. Itulah hakikat tauhid dan hakikat Laa Ilaaha Illalla

FITRAH MANUSIA: KEYAKINAN TENTANG KEESAAN ALLAH
      Hampir tidak ditemukan ayat alqur’an yang membicarakan wujud Tuhan. Bahkan Syaikh Abdul Halim Mahmud dalam bukunya Al-Islam wa Al-'Aql menegaskan bahwa, "Jangankan Al-Quran, Kitab Taurat, dan Injil pun tidak menguraikan tentang wujud Tuhan."
      Al-Quran mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap manusia, hal tersebut merupakan fitrah (bawaan) manusia sejak asal kejadiannya. Firman allah "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tiada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS 30;30), ayat AlQur’an lain: "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami menyaksikan'" (QS 7;172).
      Apabila Anda duduk menyendiri, pikiran mulai tenang, akan dapat merasakan suara hati yang mengajak Anda untuk berdialog, mendekat dengan Yang Maha mutlak. Suara hati itu dapat menyadarkan betapa lemahnya manusia dihadapan-Nya, betapa kuasa dan perkasa Dia Yang Maha agung, suara hati itulah fitrah manusia yang terbawa serta sejak lahir.
      Kesibukan dunia dan dosa-dosa menyebabkan suara hati tersebut begitu lemah tidak terasa lagi dan terabaikan, tetapi bila diusahakan untuk merenung atau mempelajari dari al qur’an dan hadist: tiada tuhan kecuali allah, dan dihujamkan di dalam hati secara sungguh sungguh dan terus mengasahnya setiap waktu, dan meyakini bahwa allah mengawasi/ melihat yang kita lakukan setiap saat maka akan hilanglah segala ketergantungan kepada yang lain kecuali kepada Allah, tiada tempat bergantung, tiada tempat menitipkan harapan, tiada tempat mengabdi kecuali kepada-Nya. La haula wa la quwwata illa billah (Tiada daya untuk memperoleh manfaat, tiada pula kuasa untuk menolak mudarat, kecuali bersumber dari Allah).
      Orang-orang yang berprinsip bahwa Tuhan Pemelihara kami adalah Allah SWT, serta istiqamah dengan hal tersebut, maka akan turun kepada mereka malaikat (untuk menenangkan mereka sambil berkata) "Jangan takut, jangan bersedih, berbahagialah kalian dengan surga yang dijanjikan" (QS 41; 30). Dan firman allah: "Orang-orang yang beriman dan jiwa mereka menjadi tenteram karena mengingat Allah. Memang hanya dengan mengingat Allahlah jiwa menjadi tenteram" (QS 13; 28).
      Manusia kadang mengalami keraguan tentang adanya tuhan, bahkan menolak kehadiran Tuhan, beberapa ayat yang mengisyaratkan adanya segelintir manusia yang tidak percaya dengan adanya tuhan, firman Allah SWT, "Dan mereka berkata, 'Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.'" (QS 45; 24) Namun lanjutan ayat di atas, "Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, dan mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja."
      Boleh jadi mereka yang tidak mempercayai wujud Tuhan adalah orang-orang yang kurang akal/ kebodohan dan keras kepala ketika berhadapan dengan satu kenyataan yang tidak sesuai dengan "nafsu nya". Salah satu bukti bahwa pernyataan ini lahir dari sikap keras kepala adalah pengakuan Fir'aun ketika ruhnya akan meninggalkan jasadnya. Dalam Al-Quran, dijelaskan sikap Fir'aun yang ketika itu kembali kepada fitrah, namun sayang dia telah terlambat, firman Allah SWT "... hingga saat Fir'aun telah hampir tenggelam, berkatalah dia. 'Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).' Apakah sekarang (baru kamu percaya) padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan?" (QS 10: 90-91).
      Ayat ini sekaligus membuktikan bahwa kehadiran Tuhan merupakan fitrah manusia yang merupakan kebutuhan hidupnya. Kalaupun ada yang mengingkari wujud tersebut, maka pengingkaran tersebut bersifat sementara. Dalam arti bahwa pada akhirnya sebelum jiwanya berpisah dengan jasadnya ia akan mengakui-Nya.

BUKTI-BUKTI KEESAAN TUHAN
      Ada sementara orang yang menuntut bukti wujud dan keesaan Tuhan dengan pembuktian material. Mereka ingin segera melihat-Nya di dunia ini. Nabi Musa a.s. suatu ketika pernah bermohon agar Tuhan menampakkan diri-Nya kepadanya, sehingga Tuhan berfirman sebagai jawaban atas permohonannya, "'Engkau sekali-kali tidak akan dapat melihat-Ku. Tetapi lihatlah ke bukit itu, jika ia tetap di tempatnya [seperti keadaannya semula), niscaya kamu dapat melihat-Ku.' Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian tersebut menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, 'Maha suci Engkau, aku bertobat kepada-Mu, dan aku orang yang pertama (dari kelompok) orang beriman'" (QS 7: 143).
      Peristiwa ini membuktikan bahwa manusia agungpun tidak berkemampuan untuk melihat-Nya paling tidak dalam kehidupan dunia. Agaknya kenyataan sehari-hari menunjukkan bahwa kita dapat mengakui keberadaan sesuatu tanpa harus melihatnya. Bukankah kita mengakui adanya angin, hanya dengan merasakan atau melihat bekas-bekasnya? Bukankah kita mengakui adanya "nyawa" bukan saja tanpa melihatnya bahkan tidak mengetahui substansinya?
      Ali bin abi tholib r.a pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi'lib Al-Yamani, "Apakah Anda pernah melihat Tuhan?" Beliau menjawab, "Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?" "Bagaimana Anda melihat-Nya?" tanyanya kembali. Imam Ali menjawab, "Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannya yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan ..."
      Secara umum kita dapat membagi uraian Al-Quran tentang bukti Keesaan Tuhan dengan tiga bagian pokok, yaitu:
1. Kenyataan wujud yang tampak.
2. Rasa yang terdapat dalam jiwa manusia.
3. Dalil-dalil logika.

1. KENYATAAN WUJUD YANG TAMPAK
      Dalam konteks ini Al-Quran menggunakan seluruh wujud sebagai bukti, khususnya keberadaan alam raya ini dengan segala isinya. Berkali-kali manusia diperintahkan untuk melakukan nazhar, fikr, serta berjalan di permukaan bumi guna melihat betapa alam raya ini tidak mungkin terwujud tanpa ada yang mewujudkannya. "Tidakkah mereka melihat kepada unta bagaimana diciptakan, dan ke langit bagaimana ia ditinggikan, ke gunung bagaimana ia ditancapkan, serta ke bumi bagaimana ia dihamparkan?" (QS 88: l7-20).
      Dalam uraian Al-Quran tentang kenyataan wujud, dikemukakannya keindahan dan keserasian alam raya. "Tidakkah mereka melihat ke langit di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun? Dan Kami hamparkan bumi serta Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh, dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata." (QS 50: 6-7). keserasiannya, didalam alqur’an dinyatakannya: "(Allah) yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sama sekali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah sesuatu yang kamu lihat tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu pun yang cacat, dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah" (QS 67: 3-4).

2. RASA YANG TERDAPAT DALAM JIWA MANUSIA
      Dalam konteks ini, Al-Quran misalnya mengingatkan kepada manusia, "Katakanlah (hai Muhammad kepada yang mempersekutukan Tuhan), 'Jelaskanlah kepadaku jika datang siksaan Allah kepadamu, atau datang hari kiamat, apakah kamu menyeru (tuhan) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar?' Tidak! Tetapi hanya kepada-Nya kamu bermohon, maka Dia menyisihkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya, jika Dia menghendaki, dan kamu tinggalkan sembahan-sembahan yang kamu sekutukan (dengan Allah)" (QS 6: 40-41). "Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, dan (berlayar) di lautan. Sehingga bila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa para penumpangnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya: (kemudian) datanglah angin badai dan apabila gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata) 'Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur'" (QS 10: 22).
      Demikian Al-Quran menggambarkan hati manusia. Karena itu tepat pandangan para filosof yang menyatakan bahwa manusia dapat dipastikan akan terus mengenal dari berhubungan dengan Tuhan sampai akhir zaman, walaupun ilmu pengetahuan membuktikan lawan dari hal tersebut. Ini selama tabiat kemanusiaan masih sama seperti sediakala, yakni memiliki naluri mengharap, cemas, dan takut, karena kepada siapa lagi jiwanya akan mengarah jika rasa takut atau harapannya tidak lagi dapat dipenuhi oleh makhluk, sedangkan harapan dan rasa takut manusia tidak pernah akan putus.

3. DALIL-DALIL LOGIKA
      ayat-ayat yang menguraikan tentang Keesaan Tuhan- Misalnya, "Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu" (QS 6:101). "Seandainya pada keduanya (langit dan bumi) ada dua Tuhan, maka pastilah keduanya binasa" (QS 21: 22)
      Maksud ayat ini adalah "seandainya ada dua pencipta, maka akan kacaulah ciptaan, karena jika masing-masing Pencipta menghendaki sesuatu yang tidak dikehendaki oleh Pencipta yang lain, maka kalau keduanya berkuasa, ciptaan pun akan kacau atau tidak akan mewujud; kalau salah satu mengalahkan yang lain, maka yang kalah bukanlah Tuhan; dan apabila mereka berdua bersepakat, maka itu merupakan bukti kebutuhan dan kelemahan mereka, sehingga keduanya bukan Tuhan, karena Tuhan tidak mungkin membutuhkan sesuatu atau lemah atas sesuatu."
      Pengalaman ruhanipun disebutkan oleh Al-Quran yaitu pengalaman para Nabi dan Rasul. Misalnya pengalaman Nabi Musa a.s. (Baca QS 20: 9-47). Demikian juga pengalaman Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad Saw., serta nabi-nabi yang lain dengan berbagai rinciannya yang berbeda, namun semuanya bermuara pada tauhid atau Keesaan Tuhan.
      Di samping mengemukakan dalil-dalil di atas, ayat ayat Al-Quran juga mengajak mereka yang mempersekutukan Tuhan untuk memaparkan hujjah mereka. "Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah, 'Kemukakan bukti kalian!'" (QS 21:24). "Katakanlah, 'Jelaskanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku apakah yang telah mereka ciptakan dan bumi ini, atau adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit. Bawalah kepadaku kitab sebelum (Al-Quran) ini, atau peninggalan dan pengetahuan (orang-orang dahulu) jika kamu adalah orang-orang yang benar'" (QS 46: 4)

MACAM-MACAM KEESAAN
      Berbicara tentang macam-macam keesaan Allah mengantarkan kita untuk memahami paling tidak surat Al-Ikhlas, sedikitnya tentang ayatnya yang pertama, "Katakanlah! Dia Allah Yang Maha Esa."
Dalam ayat di atas, kata Ahad berfungsi sebagai sifat Allah Swt., dalam arti bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersendiri yang tidak dimiliki oleh selain dari-Nya. Dari segi bahasa, kata Ahad walaupun berakar sama dengan Wahid, tetapi masing-masing memiliki makna dan penggunaan tersendiri. Kata Ahad hanya digunakan untuk sesuatu yang tidak dapat menerima penambahan baik dalam benak apalagi dalam kenyataan, karena itu kata ini ketika berfungsi sebagai sifat, tidak termasuk dalam rentetan bilangan, berbeda halnya dengan wahid (satu); Anda dapat menambahnya sehingga menjadi dua, tiga, empat dan seterusnya, walaupun penambahan itu hanya dalam benak pengucap atau pendengarnya.
      Berbicara tentang angka -dalam kaitannya dengan bahasan tauhid- agaknya menarik untuk dihayati bahwa kata "Ahad" terulang di dalam Al-Quran sebanyak 85 kali, namun hanya sekali yang menjadi sifat Tuhan yakni firman-Nya dalam surat Al-Ikhlas, "Qul Huwa Allahu Ahad." Seakan-akan Allah bermaksud untuk menekankan keyakinan tauhid, bukan saja dalam maknanya, tetapi juga dalam bilangan pengulangan lafalnya, serta kandungan lafal itu. Ini menggambarkan kemurnian mutlak dalam keesaan. Bukankah kata Wahid yang berarti "satu," dapat berbilang unsurnya, berbeda dengan kata Ahad yang mutlak tidak berbilang, walau hanya sekadar unsurnya? Benar! Allah terkadang juga disifati dengan kata Wahid seperti antara lain dalam firman-Nya: "Tuhan-Mu adalah Tuhan yang Wahid, tiada Tuhan selain Dia, Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang" (QS 2: 163)
      Sementara para ulama berpendapat bahwa kata Wahid dalam ayat di atas, adalah menunjuk kepada keesaan Zat-Nya disertai dengan keragaman sifat-sifat-Nya, bukankah Dia Maha Pengasih, Maha Penyayang, Mahakuat, Maha Mengetahui, dan sebagainya, sedangkan kata Ahad dalam surat Al-Ikhlas itu, mengacu kepada keesaan Zat-Nya saja, tanpa memperlihatkan keragaman sifat-sifat tersebut.
      Terlepas dari setutu atau tidak dengan pembedaan terakhir ini, namun yang jelas bahwa Allah Maha Esa, dan Keesaan-Nya itu mencakup empat macam keesaan
1. Keesaan Zat
2. Keesaan Sifat
3. Keesaan Perbuatan, dan
4. Keesaan dalam beribadah kepada-Nya.

1. KEESAAN ZAT-NYA
      Keesaan Zat mengandung pengertian bahwa seseorang harus percaya bahwa Allah Swt. tidak terdiri dari unsur-unsur, atau bagian-bagian, karena bila Zat Yang Mahakuasa itu terdiri dari dua unsur atau lebih, betapapun kecilnya unsur atau bagian itu- maka ini berarti Dia membutuhkan unsur atau bagian itu. Atau dengan kata lain unsur atau bagian itu merupakan syarat bagi wujud-Nya. Jika demikian, Zat Tuhan pasti tidak terdiri dari unsur atau bagian-bagian betapapun kecilnya, karena jika demikian, Dia tidak lagi menjadi Tuhan. Benak kita tidak dapat membayangkan Tuhan membutuhkan sesuatu dan Al-Quran pun menegaskan demikian: "Wahai seluruh manusia kamulah yang butuh kepada Allah dan Allah Mahakaya tidak membutuhkan sesuatu lagi Maha Terpuji" (QS 35: 15).
      Setiap penganut paham tauhid berkeyakinan bahwa Allah adalah sumber segala sesuatu dan Dia sendiri tidak bersumber dari sesuatu pun. Ayat al-Quran menegaskan bahwa, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (QS 42: 11)
     Perhatikan redaksi ayat di atas, "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya." Yang serupa dengan-Nya pun tidak ada, apalagi yang seperti Dia. Karena itu, jangankan secara faktual di dunia nyata, secara imajinatif pun tidak ada yang serupa dengan-Nya. Allah tidak menempati ruang dan waktu, sehingga suatu bentuk hayalan/ bayangan apapun didunia ini, pada jarak tertentu, itupun bukan tuhan.
      Keragaman dan bilangan lebih dari satu adalah substansi setiap makhluk, bukan ciri Khaliq. Itulah sebagian dari makna Keesaan dalam Zat-Nya.
      Rasulullah bersabda : “Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu fikirkan tentang dzat Allah, sebab, kamu tidak akan sanggup mengira-ira tentang hakikatnya yang sebenarnya ” HR.Abu Nu’im dalam Al Hidayah. Hadits dari Ibnu Abbas, Nabi s.a.w. bersabda : "Fikirkanlah makhluk Allah dan jangan memikirkan Dzat-Nya, karena kamu tidak akan dapat menduga kekuasaan-Nya". Dan dari Ibnu Abbas juga dengan lain perkataan : "Fikirkanlah kamu keadaan makhluk dan jangan fikirkan keadaan Khaliq" (Allah Yang Maha Menciptakan), karena kamu tidak dapat mengukur kekuasaan-Nya". (HR. Abu Syaikh)

2. KEESAAN SIFAT-NYA
      Adapun keesaan sifat-Nya, maka itu antara lain berarti bahwa Allah memiliki sifat yang tidak sama dalam substansi dan kapasitasnya dengan sifat makhluk, walaupun dari segi bahasa, kata yang digunakan untuk menunjuk sifat tersebut sama. Sebagai contoh, kata Rahim merupakan sifat bagi Allah, tetapi juga digunakan untuk menunjuk rahmat atau kasih sayang makhluk. Namun substansi dan kapasitas rahmat dan kasih sayang Allah berbeda dengan rahmat makhluk-Nya. Allah Esa dalam sifat-Nya, sehingga tidak ada yang dapat menyamai substansi dan kapasitas sifat tersebut.
      Sementara ulama memahami lebih jauh keesaan sifat-Nya itu, dalam arti bahwa Zat-Nya sendiri merupakan sifat-Nya. Demikian mereka memahami keesaan secara amat murni. Mereka menolak adanya "sifat" bagi Allah, walaupun mereka tetap yakin dan percaya bahwa Allah Maha Mengetahui, Maha Pengampun, Maha Penyantun, dan lain-lain yang secara umum dikenal ada sembilan puluh sembilan. Mereka yakin tentang hal tersebut, tetapi mereka menolak menamainya sifat-sifat. Lebih jauh penganut paham ini berpendapat bahwa "sifat-Nya" merupakan satu kesatuan, sehingga kalau dengan tauhid Zat, dinafikan segala unsur keterbilangan pada Zat-Nya, betapapun kecilnya unsur itu, maka dengan tauhid sifat dinafikan segala macam dan bentuk ketersusunan dan keterbilangan bagi sifat-sifat Allah. Berapa jumlah sifat Allah itu? Yang populer menurut sebuah hadis ada 99 sifat. Tetapi Muhammad Husain Ath-Thabathaba'i, setelah menelusuri ayat-ayat Al-Quran, menyimpulkan bahwa ada 127 nama atau sifat Allah yang ditemukan dalam Al-Quran, kesemuanya merupakan Al-Asma', Al-Husna.

3. KEESAAN PERBUATAN-NYA
      Keesaan ini mengandung makna bahwa segala sesuatu yang berada di alam ini, sistem kerjanya maupun sebab dan wujud-wujudNya, kesemua itu adalah hasil perbuatan Allah semata. Apa yang dikehendaki-Nya akan terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, tidak ada daya (untuk memperoleh manfaat), tidak pula kekuatan (untuk menolak madarat), kecuali bersumber dari Allah Swt., Tetapi ini bukan berarti bahwa Allah Swt Berlaku sewenang-wenang, atau "bekerja" tanpa sistem yang ditetapkanNya. Keesaan perbuatan-Nya dikaitkan dengan hukum-hukum, atau takdir dan sunnatullah yang ditetapkan-Nya.
      Dalam mewujudkan kehendak-Nya Dia tidak membutuhkan apa pun. Firman Allah "Sesungguhnya keadaan-Nya bila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata, 'Jadilah!' Maka jadilah ia" (QS 36: 82). Tetapi ini bukan juga berarti bahwa Allah membutuhkan kata "jadilah;" ayat ini hanya bermaksud menggambarkan bahwa pada hakikatnya dalam mewujudkan sesuatu Dia tidak membutuhkan apa pun. Ayat ini juga tidak berarti bahwa segala sesuatu yang diciptakan-Nya tercipta dalam sekejap, tanpa proses, sesuai dengan kehendak-Nya. Bukankah nabi Isa a.s. dinyatakan-Nya sebagai tercipta dengan kun. "Sesungguhnya keadaan (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti Adam, diciptakan dari tanah kemudian Dia katakan kepadanya kun (jadilah), maka jadilah dia" (QS 3: 59).
      Pada ayat lain didalam kitab Al-Quran menggambarkan proses kejadian nabi Isa as, yang dimulai dengan kehadiran malaikat kepada Maryam, kehamilannya, sakit perut menjelang kelahiran, dan akhirnya lahir (Baca QS 19:16-26). Sekali lagi, kata kun bukan berarti bahwa segala sesuatu yang dikehendaki-Nya terjadi serta-merta tanpa adanya suatu proses.

4. KEESAAN DALAM BERIBADAH KEPADA-NYA
      Kalau ketiga keesaan Allah SWT di atas merupakan hal-hal yang harus diketahui dan diyakini, maka keesaan keempat ini merupakan perwujudan dari ketiga makna keesaan terdahulu.
      Ibadah itu beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Salah satu ragamnya yang paling jelas, adalah amalan tertentu yang ditetapkan cara dan atau kadarnya langsung oleh Allah atau melalui Rasul-Nya, dan yang secara populer dikenal dengan istilah ibadah mahdhah. Sedangkan ibadah dalam pengertiannya yang umum, mencakup segala macam aktivitas yang dilakukan demi karena Allah.
      Mengesakan Tuhan dalam beribadah, menuntut manusia untuk melaksanakan segala sesuatunya demi karena Allah SWT, baik sesuatu itu dalam bentuk ibadah mahdhah (murni), maupun selain dari itu. Walhasil, keesaan Allah dalam beribadah kepada-Nya adalah dengan melaksanakan apa yang ditegaskan dalam ayat alqur’an, firman Allah SWT, "Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, (seterusnya) karena Allah, Pemelihara seluruh alam'" (QS 6: 162).

ALLAH DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
      Salah satu ayat yang menggambarkan dampak kehadiran Allah dalam jiwa manusia adalah firman-Nya, "Allah membuat perumpamaan, (yaitu) seorang lelaki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat dan saling berselisih (buruk perangai mereka), dengan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang saja. Adakah keduanya (budak-budak itu) sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (QS 39:29).
      Ayat ini bermaksud menggambarkan bagaimana keadaan seseorang yang harus taat kepada sekian banyak orang yang memilikinya, tetapi pemilik-pemiliknya itu saling berselisih dan buruk perangainya. Alangkah bingungnya dia. Yang ini memerintahkan satu hal, belum lagi selesai datang yang lain mencegah atau memerintahkannya dengan perintah lain, yang ketiga pun demikian juga. Begitu seterusnya, sehingga pada akhirnya budak itu hidup dalam kompleks kejiwaan yang tidak diketahui bagaimana cara menanggulanginya. Bandingkanlah hal itu dengan seorang budak lain yang hanya menjadi milik penuh oleh seseorang sehingga ia tidak mengalami kebingungan atau kontradiksi dalam kesehariannya.
      Menarik dikemukakan alasan Murtadha Muthahhari yang juga memahami sebagaimana ulama-ulama lain -arti kata rajulan pada ayat di atas dengan "budak." Ulama tersebut menulis dalam bukunya Allah dalam Kehidupan Manusia bahwa: Sementara orang ada yang membuat kemungkinan berikut, yakni bahwa manusia berkeinginan untuk hidup bebas (tanpa kendali). Sesungguhnya keinginan ini (walaupun merupakan sesuatu yang mustahil) menjadikan manusia keluar dari kemanusiaannya, karena ini berarti bahwa ketika itu dia tidak mengakui adanya hukum, tujuan, keinginan atau ide -dalam arti dia kosong sama sekali dari keyakinan tertentu, dan keadaan demikian mencabutnya dari hakikat kemanusiaan. Keadaan semacam ini tidak ada wujudnya dalam kehidupan manusia di dunia. Orang-orang yang menghendaki kehidupan sebebas mungkin, serta tidak mengakui adanya sedikit peraturan pun, pasti hidup mereka pun dilandasi oleh keyakinan (ide tertentu) atau berusaha mencari ide/keyakinan tertentu. Usaha ini menunjukkan bahwa manusia harus menerima wewenang pengaturan dari keyakinan (ide yang ada dalam benaknya). Jika demikian, tidak heran jika Al-Quran menggunakan istilah-istilah yang mengandung arti budak (seseorang yang dimiliki oleh pihak lain).
      Keadaan yang digambarkan oleh ayat di atas, terbukti kebenarannya dalam kenyataan hidup orang-orang yang lemah imannya, atau memiliki sekian banyak ide atau keyakinan yang saling bertentangan. Sekali dia taat kepada Tuhan, lain kali dia taat kepada setan, sekali dia ke masjid, lain kali ke klub malam. Orang semacam ini dikuasai atau menjadi budak sekian penguasa yang buruk perangainya sehingga pada akhimya ia mengidap kepribadian ganda (split personality), yang merupakan salah satu bentuk dari sekian banyak bentuk penyakit kejiwaan. Kalau demikian wajar jika Al-Quran menegaskan bahwa, "Orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram" (QS 13: 28).
      Kalau dalam ayat lain Al-Quran menegaskan bahwa seandainya pada keduanya (langit dan bumi) terdapat banyak Tuhan (Pengusa yang mengatur alam) selain Allah, maka pastilah keduanya akan binasa (QS 21: 22), maka dalam QS Al-Zumar [39]: 29 di atas, Allah berpesan bahwa seandainya di dalam jiwa seseorang ada banyak tuhan atau penguasa yang mengatur hidupnya, maka pasti pula jiwanya akan rusak binasa.
      Kalau uraian di atas membuktikan kebutuhan jiwa manusia kepada akidah tauhid, maka rangkaian pertanyaan berikut dapat menjadi salah satu bukti tentang kebutuhan akalnya terhadap akidah ini. Pertanyaan dimaksud adalah: "Siapa yang menjamin bila Anda melontar ke depan, maka batu itu tidak mengarah ke belakang? Apa yang menjamin bahwa air selalu mencari tempat yang rendah? Apa yang mengantar ilmuwan untuk memperoleh semacam kepastian dalam langkah-langkahnya?" Kepastian tersebut tidak mungkin dapat diperoleh kecuali melalui keyakinan tentang wujud Tuhan Yang Maha Esa. Karena jika Tuhan berbilang, maka sekali tuhan ini yang mengatur alam dan menetapkan kehendak-Nya dan kali lain tuhan yang lain lagi. Apa yang menjamin kepastian itu, seandainya Tuhan Yang mengatur hukum-hukum dan tata kerta alam raya, juga butuh kepada sesuatu? Sudah dapat dipastikan tidak ada yang dapat menjamin!
      Jika demikian, tauhid bukan saja merupakan hakikat kebenaran yang harus diakui karena diperlukan oleh jiwa manusia, tetapi juga merupakan kebutuhan akalnya demi kemajuan dan kesejahteraan umat manusia. Wajar jika perkembangan pemikiran manusia tentang Tuhan, berakhir pada monoteisme murni, setelah pada awalnya menganut keyakinan politeisme (banyak tuhan), kemudian dua tuhan, disusul dengan kepercayaan tentang adanya satu Tuhan. dan berakhir dengan tauhid murni (keesaan mutlak) yang dianut oleh umat Islam.
      Apabila seseorang telah menganut akidah tauhid dalam pengertian yang sebenarnya, maka akan lahir dari dirinya berbagai aktivitas, yang kesemuanya merupakan ibadah kepada Allah, baik ibadah dalam pengertiannya yang sempit (ibadah murni) maupun pengertiannya yang luas. Ini disebabkan karena akidah tauhid merupakan satu prinsip lengkap yang menembus semua dimensi dan aksi manusia. Karena itu, dalam alqur’an "Allah tidak mengampuni siapa yang mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, dan dapat mengampuni selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki (QS 4: 48).
      Kalau dalam alam raya ini ada matahari yang menjadi sumber kehidupan makhluknya di permukaan bumi, dan yang berkeliling padanya planet-planet tata surya yang tidak dapat melepaskan diri darinya, maka akidah tauhid merupakan matahari kehidupan ruhani dan yang berkeliling di sekitarnya kesatuan-kesatuan yang tidak dapat pula melepaskan diri atau dilepaskan darinya. Kesatuan dimaksud antara lain adalah kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, kesatuan natural dan supranatural, kesatuan ilmu, kesatuan agama, kesatuan kemanusiaan, kesatuan umat, kesatuan kepribadian manusia, dan lain-lain.
      Prinsip lengkap ini harus terus-menerus dipelihara, diasah, dan diasuh. Memang boleh jadi seorang Muslim mengalami godaan sehingga timbul tanda tanya menyangkut kehadiran Allah Yang Maha Esa. Yang demikian adalah wajar-wajar saja, asal ia selalu berupaya untuk mengusir godaan itu. Hal ini dialami juga oleh para sahabat Nabi Saw. Mereka yang mengadukan pengalamannya kepada beliau ditanggapi oleh Nabi Muhammad Saw. dengan bersabda, "Segala puji bagi Allah yang menangkal tipuannya (setan) menjadi waswasah (bisikan)."
      Sahabat Nabi, Ibnu Abbas, pernah ditanya oleh Abu Zamil Sammak ibn Al-Walid, "Apakah yang saya rasakan di dalam dadaku (ini)?" "Apakah itu," tanya Ibnu Abbas. "Demi Allah saya tidak akan mengatakannya." Ibnu Abbas bertanya balik, "Apakah semacam syak atau keraguan?" Si penanya mengiyakan. Ibnu Abbas kemudian berkata, "Tidak seorang pun (dari kami) yang terbebaskan dari yang demikian, sampai turun firman Allah: "Apabila kamu dalam keraguan dari apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu" (QS 10: 94).
      Apabila engkau mendapatkan hal itu bacalah, Dia yang Awal, Dia Yang Akhir, Dia Yang Zhahir (tampak melalui ciptaan-Nya), Dia juga Yang Batin (tak tampak hakikat Zat-Nya), dan Dia. Maha Mengetahui segala sesuatu." Demikian Allah Swt. Karena itu wajar kita bermohon: "Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi anugerah" (QS 13: 8).

Sumber:
1. Tauhid & makna Syahadatain: Dr.Muh.Mu’inudinillah Basri, MA
2. Tauhid Uluhiyah : Yang Berhak Disembah; Abdul Aziz asy Syaukani
3. Wawasan alqur’an tentang Tuhan; Dr.M.Quraish Shihab, M.A.
4. Ringkasan aqidah dan manhaj imam asy-syafi'i: Al-Ustadz Nurul Mukhlishin Asyrafuddin, Lc., M.Ag

1 komentar:

 
Ilham Melyundra - Rizki Melyundra - Tamy Choirunnisa